Seharusnya pahlawan tidak hanya identik dengan mengangkat senapan. Tapi, dengan karya tulisnya.
Senin, (10/1), arah jarum jam telah menunjukkan pukul 08.00 WIB.
Seorang pria berbaju coklat yang bertugas sebagai penjaga tas di Unit
Pelayanan Teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
terlihat duduk santai. Diseruputnya segelas kopi dengan sebatang rokok
di tangannya kemudian ditaruhnya tas salah seorang pengunjung. “ bang, tolong bukain pintu aula perpus dong. Eia, kursinya udah dirapiinkan ?” kata seorang mahasiswa yang kemudian bersama seorang penjaga tas bergegas ke Aula Perpustakaan.
Ternyata pada hari itu akan diadakan seminar pendidikan. Dengan
mengusung tema Telaah Kritis Keberpihakan Pendidikan Nasional. Acara ini
adalah serangkaian acara sepekan yang diadakan oleh Lembaga Pers
Mahasiswa di UNJ.
Setengah jam kemudian, satu persatu orang datang memasuki aula
Perpus. Tapi kedatangan Pria berambut putih dengan seorang asisten di
belakangnya ini menjadi perhatian orang yang lebih dulu ada di aula
Perpus. Disambutnya pria itu dengan senyuman dan jabatan tangan.
Kemudian pria itu duduk di bangku paling depan.
Sudah lebih dari satu jam acara yang dijadwalkan pukul 09.00 belum
juga dimulai. “kenapa belum juga dimulai?” Tanya asisten pria berambut
putih itu. “iya nanti pak. Kita menunggu pembicara dari perwakilan DPR.”
Jawab panitia. Setelah mendengar dari asistennya sebab acara belum juga
dimulai. Pria berambut putih itu melangkahkan kakinya menuju podium. “
Ini buktinya. Bisa dilihat dampak dari masukknya neoliberalisme di dunia
pendidikan. DPR tidak konsisten. Dalam hal apapun.” Keluhnya. Lantas
kemudian panitia meminta moderator memulai acara.
Pria berambut putih itu adalah Henry Alexis Rudolf Tilaar. Guru besar
emeritus UNJ yang pada waktu itu menjadi pembicara pada acara Pekan
Nasional Pers Mahasiswa. Dengan mengambil tema Quo Vadis Pendidikan
Nasional. Pria yang akrab di panggil Alex ini menyampaikan kritik dan
buah pikirnya tentang pendidikan multikulturnya ini. Katanya, kebijakan
tentang konversi IKIP ke universitas adalah program banci. Pendidikan
tidak ada, ilmu murni juga tidak ada, tambahnya.
Dalam acara yang dihadiri pegiat Pers Mahasiswa di seluruh Indonesia
ini. H.A.R Tilaar mengungkapkan pentingnya mahasiswa menjaga
idealismenya dalam menganalisis permasalahan pendidikan sekarang. Kata
H.A.R Tilaar pendidikan hari ini dijadikan sebagai komoditas pasar
bebas. Neoliberalisme merangsek masuk ke dunia pendidikan lewat
deregulisasi, privatesasi dan liberalisasinya. Hal ini sungguh terlihat
ketika maraknya universitas yang mempromosikan dirinya sebagai World Class University.
Materi yang disampaikannya pada waktu itu mendapat antusias para
peserta seminar yang juga dihadiri mahasiswa Pascasarjana UNJ. Memang
sosok H.A.R Tilaar telah malang melintang di dunia pendidikan. Lewat
buah karya tulisnya dan juga kehadirannya saat diminta mengisi
acara-acara yang mengusung tema pendidikan.
Mengenal H.A.R Tilaar
H.A.R Tilaar (79), pria kelahiran Tondano, Sulawesi
Utara ini adalah seorang anak yang berasal dari keluarga guru. Pada
masa colonial alex, panggilan akrabnya, menamatkan sekolah dasarnya di
sekolah rakyat Cristelijke Normaalschool Tomohon . Kemudian alex melanjutkannya ke sekolah pendidikan guru dan lulus pada tahun 1952.
Dalam bukunya Indonesia ! Sebentuk manikam untukmu
yang di dedikasikan untuk H.A.R Tilaar ini Ayu Hermawan mengungkapkan.
Lima puluh tahun silam, Alex Tilaar, nama kecilnya adalah seorang pemuda
biasa. Hanya saja ia mempunyai semangat membara untuk bersekolah,
bersekolah, dan bersekolah. Seorang pemuda dengan tekad dan optimism
tinggi dalam merengkuh masa depan. Lingkungan dimana ia berada telah
menunjukkan dengan jelas kepadanya bahwa bersekolah adalah jalan yang
tepat untuk meraih masa depan.
Setelah lulus pada tahun 1952, alex bekerja sebagai guru. Dan
memperoleh ijazah Pedagogik (B-I dan B-II) kedua-duanya dengan pujian
pada tahun 1957 dan 1959 di Bandung. Ia memperoleh gelar sarjana
pendidikannya dari Universitas Indonesia dengan predikat cum laude pada
tahun 1961.
Pada tahun 1964 alex memperoleh beasiswa dari US-AID dan belajar di
University of Chicago (1964-1965), kemudian di Indiana University,
Bloomington, di mana ia memperoleh master of science of education (1967)
dan doctor of education (1969). Sesudahnya ia mengikuti berbagai
program postgraduate di beberapa universitas di Amerika Serikat dan
Inggris dan pelatihan-pelatihan di lembaga-lembaga United Nations serta
IBRD dan ADB.
Saat di Indiana University ia diharuskan mengambil beberapa mata
kuliah dari beberapa fakultas sekaligus. Beberapa mata kuliah tersebut
sepintas seolah-olah bertentangan. Mata kuliah itu antara lain dari
Fakultas Pendidikan, Fakultas Phsycologi, School of Law, School of
Government dan seterusnya. Kalau di Amerika Serikat (AS), kalau ingin
mendalami system pemerintahan AS, maka selain mengambil mata kuliah
system pemerintahan juga harus tau system hukumnya. Begitu juga ketika
mendalami system pendidikannya. Juga harus tau keterkaitannya dengan
ilmu lainnya. Tidak ada displin ilmu yang berdiri sendiri semua saling
berkaitan.
Menurut Alex, system pengajaran dengan membuka diri terhadap berbagai
displin ilmu seperti ini seharusnya bisa diterapkan di Indonesia. Hanya
saja, Indonesia terlanjur mewarisi system Belanda yang membuat sebuah
fakultas berdiri sendiri. Sistem tersebut sudah berpola baku dan sejak
lama. “Sebenarnya, bukan tidak mungkin mengubahnya, namun harus ada Political Will dari pemerintah.” Kata Alex. Dalam hal ini, Political Will harus datang langsung dari departemen yang bersangkutan dengan masalah pendidikan.
Logika berfikirnya berlandasakan pada fakta sesungguhnya ilmu adalah
sesuatu yang harus dipahami secara utuh, tidak terkotak-kotak. “Ilmu itu
intergrated, tidak terkotak-kotak antara fakultas yang satu dengan lainnya.” Ujarnya. Berbagai kalangan hendaknya membuka diri.
Bagi Alex, ilmuwan yang tanggap dan bersedia membuka diri terhadap
ilmu lain di luar displin utamanya akan memiliki kapasitas intelektual
dengan kapasitas dan sudut yang beragam. Dengan demikian ia dapat
memikirkan satu hal dari banyak sisi, mampu menghargai displin lain, dan
pandai secara intersectoral. “Ilmuwan seperti itu dibutuhkan dalam
membangun bangsa. Mereka akan memberikan pikiran dan pandangan yang
bersifat membangun saling menghargai, bukan ilmuwan yang egois dan hanya
terpaku pada displin ilmunya sendiri,” katanya.
Oleh karena itu, setelah selama dua tahun menghabiskan waktunya untuk
belajar, belajar dan belajar, juga mendekam di perpustakaan, akhirnya
Alex memetik buah kerja kerasnya. Pada tahun 1966, ia dinyatakan lulus
dan berhak menyandang gelar Master of Science dari Indiana University.
Pada saaat itu, banyak peraih master yang disuruh pulang karena
memang demikian perjanjian yang berlaku dengan pemberi beasiswa. Akan
tetapi alex berhasrat melanjutkan ke jenjang berikutnya, mengambil gelar
doctor. “saya akan berjuang untuk itu, mumpung masih disini,” tegasnya.
Tentu ini bukan perkara mudah karna ia harus meminta izin ke
Washington, kantor pusat USAID yang menjadi penyantun beasiswa baginya.
Untungnya, Washington menerima usulan ini, setelah Alex berhasil lulus qualiyfying exam. Hanya
mereka yang berhasil lulus kualifikasi ini saja yang berhak maju dan
membuat disertasi doctor. Menurut Alex, ujian tersebut terhitung susah
dan menguji batas pengetahuan dan kemampuannya terhadap beberapa mata
kuliah.
Singkat kata, Alex berhak meneruskan sekolah. Pada tahun 1969, ia maju sidang untuk meraih gelar doctor of education.
Pengujinya adalah para professor: Betchelder, Clayton, Cemberlain, dan
Porter. Yang disebut terakhir ini adalah seorang ahli pendidikan Asia
Tenggara.
Kehidupan Alex banyak sekali malang melintang di luar negeri. Tapi
sebelumnya pada tahun 1952 sebenarnya Alex sudah bekerja sebagai guru.
Dan pada tahun 1997 Alex meminta dipensiunkan sebagai pegawai negeri.
Kisah tentang Alex yang malang melintang di luar negeri dalam
menempuh pendidikan ini juga terlihat pada anak-anaknya ketika memilih
melanjutkan kuliah. Karena hal ini lah Alex pernah mendapat cercaan
bahwa Alex tidak loyal dengan pendidikan di dalam negeri.
Sebagai seorang yang sehari-harinya bergelut dengan masalah
pendidikan, Alex sebenarnya sedih mendengar hal itu dituduhkan
kepadanya. Meski sebenarnya ia lebih sedih lagi menyadari kenyataan
betapa system pendidikan di Indonesia tidak berkembang sebagaimana
mestinya. Sebagai orang yang mendalami bidang pendidikan, ia paham benar
bahwa secara umum pendidikan di Indonesia tidak berada dalam kualitas
yang bagus. “Bahkan, standarisasinya saj sering membingungkan,” katanya.
(Karena ini pulalah, Alex menulis buku tentang standarisasi. Buku ini
telah diluncurkan tahun 2006 lewat berbagai acara bedah buku di
kampus-kampus ternama di Indonesia. “Saya meluncurkan di kampus-kampus,
karna kalau di muka public, saya khawatir akan membuat banyak orang
gerag,” ujarnya memberikan alsan atas peluncuran bukunya yang berkesan
terbatas itu. Buku itu sendiri memang banyak mengungkap hal-hal penting
perihal standarisasi di tanah air yang berkesan tumpang tindih dan tidak
terkonsep.)
Dedikasi terhadap bidang pendidikan
Tidak seperti pahlawan yang sebagaimana mestinya.
Bertempur memegang senjata demi negar-bangsa. Alex bisa disebut sebagai
pahlawan. Khususnya dalm bidang pendidikan. Ini dimanifestasikan Alex
lewat karya-karya tulisnya.
Hal ini terlihat pada hobi menulisnya. “Tidak usah khawatir. Saya
tidak akan menikah lagi dengan siapa pun. Saya sudah punya istri kedua:
buku,” ucap Alex ketika membujuk Martha, Istri Alex yang sampai saat ini
menekuni bidang kosmetik tanah air, yang nyaris putus harapan karna tak
kunjung butuh momongan. Jadilah Alex seorang profesor, penulis buku,
yang mendapat penuh dukungan dan support dana dari sang isteri.
Jawaban Alex ini tentunya menenangkan Martha dan menjadi semacam
penyemangat agar ia semakin khusyuk berdoa dengan tekun. Akhirnya,
setelah 16 Tahun berharap, Martha diberi karunia hamil pada umur 42
tahun. Sejak saat itu, Martha selalu merelakan Alex berasyik masyuk
dengan istri keduanya yaitu buku. Martha member dukungan penuh antara
lain untuk kepentingan Alex dalam melakukan riset dan menerbitkan buku.
Alex melakukan riset sampai ke luar negeri. Dalam kesempatan jalan-jalan
keluarga pun, biasanya Alex menyempatkan diri melakukan riset
kepustakaan.
Buku memang tidak bisa dilepaskan dari diri Alex. Guru besar emiretus
IKIP Jakarta (baca: UNJ) yang pernah menjadi konsultan beberapa lembaga
Internasional, seperti UNDP, Bank Dunia, dan ADB itu, dalam
kesehariannya memang kebanyakn bergaul dengan buku. Baik sebagai pelahap
maupun penulis buku. Alex yang telah bekerja sebagai guru sejak 1952,
mulai mengajar sebagai guru di pelosok pare-pare, sampai kemudian
menjadi guru besar, dan pension sebagai pegawai negeri setelah mengabdi
selama 45 tahun, selain sanggup membaca buku berjam-jam di perpustakaan,
juga adlah penulis buku yang produktif.
Sepulang dari Amerika Serikat, Alex menerbitkan dua buku pada tahun 1970. Masing-masing berjudul Pembiyaan Pendidikan: Tanggung Jawab masyarakat dalam Penyelenggaraan dan Pembiyaan Pendidikan dan Perncanaan Pendidikan.
Buku ini mengacu pada studi Prof. T.W. Schultz, Invesment in Human
Capital (1961). Gagasan yang dikemukakan adalah menelaah dan
menganalisis konsep human capital (sumber daya manusia) dan investasi.
Dikatakan Schultz yang juga terterang dalam bukunya Alex berjudul Pendidikan dan Kekuasaan, bahwa investasi pendidikan adalah sumber pembawa keuntungan, baik bagi individu maupun kolektif.
Dengan buku pertamanya ini, Alex menyumbangkan pengayaan pemikiran mengenai Teori Sumber Daya Manusia. Setelah itu Alex tenggelam dalam kesibukannya di Bappenas sehingga praktis ia tidak menulis buku sampai pada tahun 1989.
Alex mulai menulis lagi sekisar decade tahun 90an ketika aktif
menjadi intelektual di UNJ. Persoalan yang banyak disorot Alex perihal
kebijakan pendidikan dari berbagai perspektif dan pendekatan. Tiga teori
besar yang dikemukakannya adalah Teori Pendidikan dengan Perspektif atau Asumsi Fungsionalis, Teori Sumber Daya Manusia, Teori Empirisme yang
dikaitkan dengan studi empiris mengenai persoalan pemerolehan
pendidikan. Dalam era millennium ketiga, pada enam tahun pertamanya
(2000-2006), Alex menghasilkan banyak buku. Buku terakhir yang
dirilisnya ialah. Mengindonesia. Etnisitas dan Identitas Bangsa. Suatu Pandangan Ilmu Pendidikan.
Pada buku-buku terakhir, terlihat bahwa Alex semakin
menampakkan pandangan muktisectoralnya dengan menjadikan banyak sumber
dan teori sebagai acuan. Nama-nama asin disodorkannya kepada pembaca. Ia
mengajak pembaca memahami bahwa ilmu pendidikan haruslah ditunjang oleh
berbagai displin ilmu lainnya. Persis seperti pengalamannya waktu
menuntut ilmu di Amerika Serikat.
Dalam buku-bukunya, Alex memaparkan keprihatinannya terhadap system
pendidikan dan kurikulum di tanah air. Sebagaimana tersebut dalam buku,
antara lain, dalam buku Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif di Indonesia.
Menurut Alex, pendidikan konservatif menekankan pada sekolah dan
konservasi dari pengetahuan positif. Pandangan ini adalah pandangan
positivisme dalam dunia pendidikan. Suatu contoh yang gamblang dari
sikap konservatif ini diwakili oleh Mortimer J. Adler dengan bukunya
yang berjudul The Paideia Proposal. Sebagaimana diketahui,
Adler yang dijuluki juga sebagai kelompok ensiklopedi beranggapan bahwa
akumulasi ilmu pengetahuan umat manusia telah tertuang di dalam
ensklopedi.
Menurut pendapat positivisme, kurikulum telah ditentukan terlebih dahulu dan secara hirarkis tersusun dalam body og knowledge.
Ilmu pengetahuan yang telah tersusun dalam kebudayaan umat manusia
merupakan penentu dari apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan.
Ilmu pengetahuan tersebut, kemudian, di dalam lembaga-lembaga
pendidikan, dikontrol dan dikelola melalui berbagai jenis tes. Gerakan
menyusun dan melaksanakan tes tersebut seperti di Indonesia terlihat
pada Ebtanas, UMPTN, dan lain-lain jelas-jelas merupakan suatu pandangan
konservatif mengenai suatu ilmu pengetahuan. Di dalam pandangan
tersebut, tidak terletak kemungkinan-kemungkinan baru di dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan seterusnya di dalam kehidupan social.
Pendapat ini beranggapan bahwa budaya merupakan gudang dari ilmu
pengetahuan tradisonal. Termasuk dalam pengertian ini ialah tujuan
pendidikan untuk menghasilkan manusia yang beradab dan warga Negara yang
baik. Pandangan ini niscaya dapat diterima oleh masyarakat.
Setelah itu pada tahun 2003 dan 2005 Alex menerbitkan dua buku yang
salah satunya berangkat dari pengalaman hidupnya. Masing-masing adalah Kekuasaan dan Pendidikan, Manifesto Pendidikan Nasional.
Buku karya Alex sebenarnya banyak, namun tidak muncul kepermukaan.
Karna Alex menjaga idealismenya dengan berpihak pada penerbit kecil
ketika ingin menerbitkan bukunya. Namun hal ini tergerus oleh penerbit
besar yang menguasai pasar. Sehingga bukunya sulit ditemukan.
Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama.
Bagi Alex ada satu lagi, manusia mati meninggalkan buku. Karenanya
semasa Tuhan masih memberikannya hidup, ia akan berusaha semaksimal
mungkin agar melalui buku-bukunya ia dapat berkomunikasi dengan public.
Ia akan terus dapat menjadi guru bagi siapa saja yang membutuhkan.
Aku, Membaca Alex, Menelaah Pendidikan Hari Ini
Menapakkan kaki di gedung Q, kampus A, UNJ memang
tidak senyaman dengan gedung baru delapan lantai yang terletak di
samping Fakultas Ilmu Pendidikan. Ramai, kumuh dan bangunannya yang
sudah lusuh memberi kesan bahwa bangunan ini memang sudah ditinggalkan
oleh petugas kebersihan.
Sampai tepat di depan pintu sebuah ruangan yang di atasnya
bertuliskan Lembaga Menejemen. Aku kemudian bergegas masuk dan menemui
staff di ruangan itu. “Langsung masuk aja ke ruangan bapak,” suruh ibu
yang sudah tau maksud kedatangan aku. Tiba sampai di sebuah ruangan
berukuran persegi itu aku disambut oleh senyuman pria yang sudah senja
dengan rambutnya yang memutih.
“Silahkan duduk, ayo gak usah malu” sapa H.A.R Tilaar yang sapa di panggil Alex.
“Terimakasih prof,” jawab aku yang sesekali diselingi tawa.
“Jangan panggil prof, saya kan sama seperti kamu, masih mahasiswa
kok” canda Alex yang menyuruh aku mengharamkan panggilan Profesor
kepadanya. Dia langsung menyuruhku memakan hidangan ringan yang memang
disiapkan buat dirinya.
“Makasih pak, ini kan makanan bapak, jadi maksud tujuan saya kesini?” ujar aku. Dan pembicaraan aku langsung dipotong Alex.
“Pokoknya sebelum tiga kue itu habis, kamu gak boleh makan. Aku tau
kok, temen-temen Persma pasti lapar,” suruh Alex dengan intonasi keras.
Setelah selesai makan. Aku dan Alex memulai obrolan.
Aku mengenal Alex lewat bukunya yang pertama kali aku baca, yaitu
kekuasaan dan pendidikan. Alex adalah orang yang rajin menghadiri tiap
undangan seminar dan acara yang berbau pendidikan. Dan banyak media
menjadikannya rujukan dalam mencari narasumber ketika mengangkat tema
pendidikan.
Saat di ruangannya Alex selalu menegaskan bahwa. Ide World Class University yang
di usung oleh kampus kebanyakan hari ini dan khususnya UNJ. Hanya
merupakan sebuah pencitraan. Dimana posisi Universitas di Indonesia yang
hari ini tidak mempunyai karakter dan konsep yang utuh. Wabilkhusus UNJ, konversi IKIP ke Universitas menjadikan UNJ kampus banci. Ilmu murninya setengah dan Ilmu pendidikannya pun setengah.
Memang tidak se sarkas tokoh pendidikan lainnya. Alex, dalam
bukunya kekuasaan dan pendidikan mengungkapkan tabir masalah
pendidikan. Dia selalu menanggapi isu-isu actual dengan sangat kritis
dan sesuai dengan gayanya.
Di buku itu tertulis. Kemajuan ekonomi dan bisnis mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam bidang
pendidikan. Adanya Reagenisme dan Teacherisme memberikan
tempat yang seluas luasnya untuk masuknya liberalism. Oleh karena itu,
hal ini mengakibatkan persentuhan antara kebijakan ekonomi dengan
pendidikan yang telah dirasuki paham liberalism. Dengan artian sector
pendidikan dijadikan lahan basah dalam mencari profit.
Ini terlihat ketika lahirnya sebuah gagasan mengenai Badan Hukum
Pendidikan (BHP). Dan perubahan regulasi tentang penanaman modal asing
yang dihalalkan memasuki sector pendidikan (PP No.77 Tahun 2007). Serta
lahirnya gagasan mengenai sekolah bertaraf internasional dan world class university.
Memang ini hanya secuil dengan apa yang lebih luas di tuangkan oleh
Alex dalam bukunya. Niscaya karangan-karanagan Alex membantu para kaum
Intelegensia yang memang bertugas membangun bangsanya. Alex adalah ruh
tersendiri dalam dunia pendidikan. Tidak ada yang mampu mengenalnya
jikalau tidak mau membca karangannya. Seharusnya pahlawan tidak hanya
identik dengan mengangkat senapan, tapi juga dengan mengangkat karya
tulisnya.
* Tulisan ini adalah tugas mata kuliah, Filsafat Sejarah. Tapi sayang, dosen memberikan nilai “E” kepada penulis.
0 komentar:
Posting Komentar