Jakarta Mencekam

Minggu, 22 Juli 2012 0 komentar

Hari-hari yang kulewati begitu hening. Sunyi menggerogoti setiap sela-sela keadaan. Penuh penantian masa lalu.

Jakarta, memang tidak seperti dulu. Jakarta, sudah bukan tempat lahir yang kukenal sebelumnya. Jakarta, kini begitu ramah. Jakarta, sudah terlalu.

Tidak pernah ada orang bertegur sapa di dalam sebuah angkutan umum. Jangankan untuk berbagi gelisah dan suka. Saling menatap, adalah hal yang langka.

Keramaiannya bukan mencerminkan keakraban. Kemewahannya bukan hasil dari kerja keras. Kepadatannya adalah emosi dari rasa ketidaksabaran.

Begitulah. Tidak pernah ada lagi seorang nenek yang mengeluh kesepian. Tidak ada lagi anak kecil yang meringis karna belum makan. Jakarta telah merenggutnya. Mereka dimasukkan ke dalam penjara yang diberi nama penampungan.

Malam hari begitu berwarna. Barisan pekerja seks sudah bukan lagi diisi perempuan-perempuan ramah dan menggoda. Yang ada hanyalah sejumlah anak belia belajar nakal. Penikmatnya pun datang sekedar merengkuh kepuasan. Bukan kenikmatan atas rasa iba yang melakukannya.

Jakarta, dirimu sudah senja. Padahal puluhan juta penghunimu selalu berharap kau tetap muda. Guna menampung ombak keserakahan yang beranak pinak.

Teriakannya adalah suara-suara liar. Yang berasal dari mulut-mulut busung lapar. Bukan karena sedikit gizi yang diperoleh. Bukan pula karena hanya memiliki sepasang pakaian yang dikenakan untuk sepekan. Melainkan karena kebuasan. Sifat kebinatangan dari penghunimu. Jakarta, dirimu mencekam.

(Pinggir Danau Buatan, Jakarta Utara 01:45)

Read more >>

Hey Alex*

Jumat, 20 Juli 2012 0 komentar

Seharusnya pahlawan tidak hanya identik dengan mengangkat senapan. Tapi, dengan karya tulisnya.
Senin, (10/1), arah jarum jam telah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Seorang pria berbaju coklat yang bertugas sebagai penjaga tas di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) terlihat duduk santai. Diseruputnya segelas kopi dengan sebatang rokok di tangannya kemudian ditaruhnya tas salah seorang pengunjung. “ bang, tolong bukain pintu aula perpus dong. Eia, kursinya udah dirapiinkan ?” kata seorang mahasiswa yang kemudian bersama seorang penjaga tas bergegas ke Aula Perpustakaan.


Ternyata pada hari itu akan diadakan seminar pendidikan. Dengan mengusung tema Telaah Kritis Keberpihakan Pendidikan Nasional. Acara ini adalah serangkaian acara sepekan yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa di UNJ.


Setengah jam kemudian, satu persatu orang datang memasuki aula Perpus. Tapi kedatangan Pria berambut putih dengan seorang asisten di belakangnya ini menjadi perhatian orang yang lebih dulu ada di aula Perpus. Disambutnya pria itu dengan senyuman dan jabatan tangan. Kemudian pria itu duduk di bangku paling depan.


Sudah lebih dari satu jam acara yang dijadwalkan pukul 09.00 belum juga dimulai. “kenapa belum juga dimulai?” Tanya asisten pria berambut putih itu. “iya nanti pak. Kita menunggu pembicara dari perwakilan DPR.” Jawab panitia. Setelah mendengar dari asistennya sebab acara belum juga dimulai. Pria berambut putih itu melangkahkan kakinya menuju podium. “ Ini buktinya. Bisa dilihat dampak dari masukknya neoliberalisme di dunia pendidikan. DPR tidak konsisten. Dalam hal apapun.” Keluhnya. Lantas kemudian panitia meminta moderator memulai acara.


Pria berambut putih itu adalah Henry Alexis Rudolf Tilaar. Guru besar emeritus UNJ yang pada waktu itu menjadi pembicara pada acara Pekan Nasional Pers Mahasiswa. Dengan mengambil tema Quo Vadis Pendidikan Nasional. Pria yang akrab di panggil Alex ini menyampaikan kritik dan buah pikirnya tentang pendidikan multikulturnya ini. Katanya, kebijakan tentang konversi IKIP ke universitas adalah program banci. Pendidikan tidak ada, ilmu murni juga tidak ada, tambahnya.


Dalam acara yang dihadiri pegiat Pers Mahasiswa di seluruh Indonesia ini. H.A.R Tilaar mengungkapkan pentingnya mahasiswa menjaga idealismenya dalam menganalisis permasalahan pendidikan sekarang. Kata H.A.R Tilaar pendidikan hari ini dijadikan sebagai komoditas pasar bebas. Neoliberalisme merangsek masuk ke dunia pendidikan lewat deregulisasi, privatesasi dan liberalisasinya. Hal ini sungguh terlihat ketika maraknya universitas yang mempromosikan dirinya sebagai World Class University.


Materi yang disampaikannya pada waktu itu mendapat antusias para peserta seminar yang juga dihadiri mahasiswa Pascasarjana UNJ. Memang sosok H.A.R Tilaar telah malang melintang di dunia pendidikan. Lewat buah karya tulisnya dan juga kehadirannya saat diminta mengisi acara-acara yang mengusung tema pendidikan.


Mengenal H.A.R Tilaar

 H.A.R Tilaar (79), pria kelahiran Tondano, Sulawesi Utara ini adalah seorang anak yang berasal dari keluarga guru. Pada masa colonial alex, panggilan akrabnya, menamatkan sekolah dasarnya di sekolah rakyat Cristelijke Normaalschool Tomohon . Kemudian alex melanjutkannya ke sekolah pendidikan guru dan lulus pada tahun 1952.


Dalam bukunya Indonesia ! Sebentuk manikam untukmu yang di dedikasikan untuk H.A.R Tilaar ini Ayu Hermawan mengungkapkan. Lima puluh tahun silam, Alex Tilaar, nama kecilnya adalah seorang pemuda biasa. Hanya saja ia mempunyai semangat membara untuk bersekolah, bersekolah, dan bersekolah. Seorang pemuda dengan tekad dan optimism tinggi dalam merengkuh masa depan. Lingkungan dimana ia berada telah menunjukkan dengan jelas kepadanya bahwa bersekolah adalah jalan yang tepat untuk meraih masa depan.


Setelah lulus pada tahun 1952, alex bekerja sebagai guru. Dan memperoleh ijazah Pedagogik (B-I dan B-II) kedua-duanya dengan pujian pada tahun 1957 dan 1959 di Bandung. Ia memperoleh gelar sarjana pendidikannya dari Universitas Indonesia dengan predikat cum laude pada tahun 1961.
Pada tahun 1964 alex memperoleh beasiswa dari US-AID dan belajar di University of Chicago (1964-1965), kemudian di Indiana University, Bloomington, di mana ia memperoleh master of science of education (1967) dan doctor of education (1969). Sesudahnya ia mengikuti berbagai program postgraduate di beberapa universitas di Amerika Serikat dan Inggris dan pelatihan-pelatihan di lembaga-lembaga United Nations serta IBRD dan ADB.


Saat di Indiana University ia diharuskan mengambil beberapa mata kuliah dari beberapa fakultas sekaligus. Beberapa mata kuliah tersebut sepintas seolah-olah bertentangan. Mata kuliah itu antara lain dari Fakultas Pendidikan, Fakultas Phsycologi, School of Law, School of Government dan seterusnya. Kalau di Amerika Serikat (AS), kalau ingin mendalami system pemerintahan AS, maka selain mengambil mata kuliah system pemerintahan juga harus tau system hukumnya. Begitu juga ketika mendalami system pendidikannya. Juga harus tau keterkaitannya dengan ilmu lainnya. Tidak ada displin ilmu yang berdiri sendiri semua saling berkaitan.


Menurut Alex, system pengajaran dengan membuka diri terhadap berbagai displin ilmu seperti ini seharusnya bisa diterapkan di Indonesia. Hanya saja, Indonesia terlanjur mewarisi system Belanda yang membuat sebuah fakultas berdiri sendiri. Sistem tersebut sudah berpola baku dan sejak lama. “Sebenarnya, bukan tidak mungkin mengubahnya, namun harus ada Political Will dari pemerintah.” Kata Alex. Dalam hal ini, Political Will harus datang langsung dari departemen yang bersangkutan dengan masalah pendidikan.
Logika berfikirnya berlandasakan pada fakta sesungguhnya ilmu adalah sesuatu yang harus dipahami secara utuh, tidak terkotak-kotak. “Ilmu itu intergrated, tidak terkotak-kotak antara fakultas yang satu dengan lainnya.” Ujarnya. Berbagai kalangan hendaknya membuka diri.


Bagi Alex, ilmuwan yang tanggap dan bersedia membuka diri terhadap ilmu lain di luar displin utamanya akan memiliki kapasitas intelektual dengan kapasitas dan sudut yang beragam. Dengan demikian ia dapat memikirkan satu hal dari banyak sisi, mampu menghargai displin lain, dan pandai secara intersectoral. “Ilmuwan seperti itu dibutuhkan dalam membangun bangsa. Mereka akan memberikan pikiran dan pandangan yang bersifat membangun saling menghargai, bukan ilmuwan yang egois dan hanya terpaku pada displin ilmunya sendiri,” katanya.


Oleh karena itu, setelah selama dua tahun menghabiskan waktunya untuk belajar, belajar dan belajar, juga mendekam di perpustakaan, akhirnya Alex memetik buah kerja kerasnya. Pada tahun 1966, ia dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar Master of Science dari Indiana University.


Pada saaat itu, banyak peraih master yang disuruh pulang karena memang demikian perjanjian yang berlaku dengan pemberi beasiswa. Akan tetapi alex berhasrat melanjutkan ke jenjang berikutnya, mengambil gelar doctor. “saya akan berjuang untuk itu, mumpung masih disini,” tegasnya. Tentu ini bukan perkara mudah karna ia harus meminta izin ke Washington, kantor pusat USAID yang menjadi penyantun beasiswa baginya. Untungnya, Washington menerima usulan ini, setelah Alex berhasil lulus qualiyfying exam. Hanya mereka yang berhasil lulus kualifikasi ini saja yang berhak maju dan membuat disertasi doctor. Menurut Alex, ujian tersebut terhitung susah dan menguji batas pengetahuan dan kemampuannya terhadap beberapa mata kuliah.
Singkat kata, Alex berhak meneruskan sekolah. Pada tahun 1969, ia maju sidang untuk meraih gelar doctor of education. Pengujinya adalah para professor: Betchelder, Clayton, Cemberlain, dan Porter. Yang disebut terakhir ini adalah seorang ahli pendidikan Asia Tenggara.


Kehidupan Alex banyak sekali malang melintang di luar negeri. Tapi sebelumnya pada tahun 1952 sebenarnya Alex sudah bekerja sebagai guru. Dan pada tahun 1997 Alex meminta dipensiunkan sebagai pegawai negeri.


Kisah tentang Alex yang malang melintang di luar negeri dalam menempuh pendidikan ini juga terlihat pada anak-anaknya ketika memilih melanjutkan kuliah. Karena hal ini lah Alex pernah mendapat cercaan bahwa Alex tidak loyal dengan pendidikan di dalam negeri.


Sebagai seorang yang sehari-harinya bergelut dengan masalah pendidikan, Alex sebenarnya sedih mendengar hal itu dituduhkan kepadanya. Meski sebenarnya ia lebih sedih lagi menyadari kenyataan betapa system pendidikan di Indonesia tidak berkembang sebagaimana mestinya. Sebagai orang yang mendalami bidang pendidikan, ia paham benar bahwa secara umum pendidikan di Indonesia tidak berada dalam kualitas yang bagus. “Bahkan, standarisasinya saj sering membingungkan,” katanya. (Karena ini pulalah, Alex menulis buku tentang standarisasi. Buku ini telah diluncurkan tahun 2006 lewat berbagai acara bedah buku di kampus-kampus ternama di Indonesia. “Saya meluncurkan di kampus-kampus, karna kalau di muka public, saya khawatir akan membuat banyak orang gerag,” ujarnya memberikan alsan atas peluncuran bukunya yang berkesan terbatas itu. Buku itu sendiri memang banyak mengungkap hal-hal penting perihal standarisasi di tanah air yang berkesan tumpang tindih dan tidak terkonsep.)


Dedikasi terhadap bidang pendidikan

 Tidak seperti pahlawan yang sebagaimana mestinya. Bertempur memegang senjata demi negar-bangsa. Alex bisa disebut sebagai pahlawan. Khususnya dalm bidang pendidikan. Ini dimanifestasikan Alex lewat karya-karya tulisnya.

Hal ini terlihat pada hobi menulisnya. “Tidak usah khawatir. Saya tidak akan menikah lagi dengan siapa pun. Saya sudah punya istri kedua: buku,” ucap Alex ketika membujuk Martha, Istri Alex yang sampai saat ini menekuni bidang kosmetik tanah air, yang nyaris putus harapan karna tak kunjung butuh momongan. Jadilah Alex seorang profesor, penulis buku, yang mendapat penuh dukungan dan support dana dari sang isteri.
Jawaban Alex ini tentunya menenangkan Martha dan menjadi semacam penyemangat agar ia semakin khusyuk berdoa dengan tekun. Akhirnya, setelah 16 Tahun berharap, Martha diberi karunia hamil pada umur 42 tahun. Sejak saat itu, Martha selalu merelakan Alex berasyik masyuk dengan istri keduanya yaitu buku. Martha member dukungan penuh antara lain untuk kepentingan Alex dalam melakukan riset dan menerbitkan buku. Alex melakukan riset sampai ke luar negeri. Dalam kesempatan jalan-jalan keluarga pun, biasanya Alex menyempatkan diri melakukan riset kepustakaan.


Buku memang tidak bisa dilepaskan dari diri Alex. Guru besar emiretus IKIP Jakarta (baca: UNJ) yang pernah menjadi konsultan beberapa lembaga Internasional, seperti UNDP, Bank Dunia, dan ADB itu, dalam kesehariannya memang kebanyakn bergaul dengan buku. Baik sebagai pelahap maupun penulis buku. Alex yang telah bekerja sebagai guru sejak 1952, mulai mengajar sebagai guru di pelosok pare-pare, sampai kemudian menjadi guru besar, dan pension sebagai pegawai negeri setelah mengabdi selama 45 tahun, selain sanggup membaca buku berjam-jam di perpustakaan, juga adlah penulis buku yang produktif.


Sepulang dari Amerika Serikat, Alex menerbitkan dua buku pada tahun 1970. Masing-masing berjudul Pembiyaan Pendidikan: Tanggung Jawab masyarakat dalam Penyelenggaraan dan Pembiyaan Pendidikan dan Perncanaan Pendidikan. Buku ini mengacu pada studi Prof. T.W. Schultz, Invesment in Human Capital (1961). Gagasan yang dikemukakan adalah menelaah dan menganalisis konsep human capital (sumber daya manusia) dan investasi. Dikatakan Schultz yang juga terterang dalam bukunya Alex berjudul Pendidikan dan Kekuasaan, bahwa investasi pendidikan adalah sumber pembawa keuntungan, baik bagi individu maupun kolektif.


Dengan buku pertamanya ini, Alex menyumbangkan pengayaan pemikiran mengenai Teori Sumber Daya Manusia. Setelah itu Alex tenggelam dalam kesibukannya di Bappenas sehingga praktis ia tidak menulis buku sampai pada tahun 1989.


Alex mulai menulis lagi sekisar decade tahun 90an ketika aktif menjadi intelektual di UNJ. Persoalan yang banyak disorot Alex perihal kebijakan pendidikan dari berbagai perspektif dan pendekatan. Tiga teori besar yang dikemukakannya adalah Teori Pendidikan dengan Perspektif atau Asumsi Fungsionalis, Teori Sumber Daya Manusia, Teori Empirisme yang dikaitkan dengan studi empiris mengenai persoalan pemerolehan pendidikan. Dalam era millennium ketiga, pada enam tahun pertamanya (2000-2006), Alex menghasilkan banyak buku. Buku terakhir yang dirilisnya ialah. Mengindonesia. Etnisitas dan Identitas Bangsa. Suatu Pandangan Ilmu Pendidikan.


 Pada buku-buku terakhir, terlihat bahwa Alex semakin menampakkan pandangan muktisectoralnya dengan menjadikan banyak sumber dan teori sebagai acuan. Nama-nama asin disodorkannya kepada pembaca. Ia mengajak pembaca memahami bahwa ilmu pendidikan haruslah ditunjang oleh berbagai displin ilmu lainnya. Persis seperti pengalamannya waktu menuntut ilmu di Amerika Serikat.
Dalam buku-bukunya, Alex memaparkan keprihatinannya terhadap system pendidikan dan kurikulum di tanah air. Sebagaimana tersebut dalam buku, antara lain, dalam buku Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif di Indonesia.


Menurut Alex, pendidikan konservatif menekankan pada sekolah dan konservasi dari pengetahuan positif. Pandangan ini adalah pandangan positivisme dalam dunia pendidikan. Suatu contoh yang gamblang dari sikap konservatif ini diwakili oleh Mortimer J. Adler dengan bukunya yang berjudul The Paideia Proposal. Sebagaimana diketahui, Adler yang dijuluki juga sebagai kelompok ensiklopedi beranggapan bahwa akumulasi ilmu pengetahuan umat manusia telah tertuang di dalam ensklopedi.


Menurut pendapat positivisme, kurikulum telah ditentukan terlebih dahulu dan secara hirarkis tersusun dalam body og knowledge. Ilmu pengetahuan yang telah tersusun dalam kebudayaan umat manusia merupakan penentu dari apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan. Ilmu pengetahuan tersebut, kemudian, di dalam lembaga-lembaga pendidikan, dikontrol dan dikelola melalui berbagai jenis tes. Gerakan menyusun dan melaksanakan tes tersebut seperti di Indonesia terlihat pada Ebtanas, UMPTN, dan lain-lain jelas-jelas merupakan suatu pandangan konservatif mengenai suatu ilmu pengetahuan. Di dalam pandangan tersebut, tidak terletak kemungkinan-kemungkinan baru di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan seterusnya di dalam kehidupan social.


Pendapat ini beranggapan bahwa budaya merupakan gudang dari ilmu pengetahuan tradisonal. Termasuk dalam pengertian ini ialah tujuan pendidikan untuk menghasilkan manusia yang beradab dan warga Negara yang baik. Pandangan ini niscaya dapat diterima oleh masyarakat.


Setelah itu pada tahun 2003 dan 2005 Alex menerbitkan dua buku yang salah satunya berangkat dari pengalaman hidupnya. Masing-masing adalah Kekuasaan dan Pendidikan, Manifesto Pendidikan Nasional. Buku karya Alex sebenarnya banyak, namun tidak muncul kepermukaan. Karna Alex menjaga idealismenya dengan berpihak pada penerbit kecil ketika ingin menerbitkan bukunya. Namun hal ini tergerus oleh penerbit besar yang menguasai pasar. Sehingga bukunya sulit ditemukan.


Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama. Bagi Alex ada satu lagi, manusia mati meninggalkan buku. Karenanya semasa Tuhan masih memberikannya hidup, ia akan berusaha semaksimal mungkin agar melalui buku-bukunya ia dapat berkomunikasi dengan public. Ia akan terus dapat menjadi guru bagi siapa saja yang membutuhkan.


Aku, Membaca Alex, Menelaah Pendidikan Hari Ini

 Menapakkan kaki di gedung Q, kampus A, UNJ memang tidak senyaman dengan gedung baru delapan lantai yang terletak di samping Fakultas Ilmu Pendidikan. Ramai, kumuh dan bangunannya yang sudah lusuh memberi kesan bahwa bangunan ini memang sudah ditinggalkan oleh petugas kebersihan.
Sampai tepat di depan pintu sebuah ruangan yang di atasnya bertuliskan Lembaga Menejemen. Aku kemudian bergegas masuk dan menemui staff di ruangan itu. “Langsung masuk aja ke ruangan bapak,” suruh ibu yang sudah tau maksud kedatangan aku. Tiba sampai di sebuah ruangan berukuran persegi itu aku disambut oleh senyuman pria yang sudah senja dengan rambutnya yang memutih.
“Silahkan duduk, ayo gak usah malu” sapa H.A.R Tilaar yang sapa di panggil Alex.
“Terimakasih prof,” jawab aku yang sesekali diselingi tawa.
“Jangan panggil prof, saya kan sama seperti kamu, masih mahasiswa kok” canda Alex yang menyuruh aku mengharamkan panggilan Profesor kepadanya. Dia langsung menyuruhku memakan hidangan ringan yang memang disiapkan buat dirinya.
“Makasih pak, ini kan makanan bapak, jadi maksud tujuan saya kesini?” ujar aku. Dan pembicaraan aku langsung dipotong Alex.
“Pokoknya sebelum tiga kue itu habis, kamu gak boleh makan. Aku tau kok, temen-temen Persma pasti lapar,” suruh Alex dengan intonasi keras. Setelah selesai makan. Aku dan Alex memulai obrolan.
Aku mengenal Alex lewat bukunya yang pertama kali aku baca, yaitu kekuasaan dan pendidikan. Alex adalah orang yang rajin menghadiri tiap undangan seminar dan acara yang berbau pendidikan. Dan banyak media menjadikannya rujukan dalam mencari narasumber ketika mengangkat tema pendidikan.
Saat di ruangannya Alex selalu menegaskan bahwa. Ide World Class University yang di usung oleh kampus kebanyakan hari ini dan khususnya UNJ. Hanya merupakan sebuah pencitraan. Dimana posisi Universitas di Indonesia yang hari ini tidak mempunyai karakter dan konsep yang utuh. Wabilkhusus UNJ, konversi IKIP ke Universitas menjadikan UNJ kampus banci. Ilmu murninya setengah dan Ilmu pendidikannya pun setengah.


Memang tidak se sarkas tokoh pendidikan lainnya. Alex, dalam bukunya kekuasaan dan pendidikan mengungkapkan tabir masalah pendidikan. Dia selalu menanggapi isu-isu actual dengan sangat kritis dan sesuai dengan gayanya.


Di buku itu tertulis.  Kemajuan ekonomi dan bisnis mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Adanya Reagenisme dan Teacherisme memberikan tempat yang seluas luasnya untuk masuknya liberalism. Oleh karena itu, hal ini mengakibatkan persentuhan antara kebijakan ekonomi dengan pendidikan yang telah dirasuki paham liberalism. Dengan artian sector pendidikan dijadikan lahan basah dalam mencari profit.


Ini terlihat ketika lahirnya sebuah gagasan mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dan perubahan regulasi tentang penanaman modal asing yang dihalalkan memasuki sector pendidikan (PP No.77 Tahun 2007). Serta lahirnya gagasan mengenai sekolah bertaraf internasional dan world class university.
Memang ini hanya secuil dengan apa yang lebih luas di tuangkan oleh Alex dalam bukunya. Niscaya karangan-karanagan Alex membantu para kaum Intelegensia yang memang bertugas membangun bangsanya. Alex adalah ruh tersendiri dalam dunia pendidikan. Tidak ada yang mampu mengenalnya jikalau tidak mau membca karangannya. Seharusnya pahlawan tidak hanya identik dengan mengangkat senapan, tapi juga dengan mengangkat karya tulisnya.


* Tulisan ini adalah tugas mata kuliah, Filsafat Sejarah. Tapi sayang, dosen memberikan nilai “E” kepada penulis.

Read more >>

Menulis Hati

0 komentar

Apa yang dirasa harus diceritakan

Malam yang hening. Berteman segelas kopi hitam yang baru diseduh. Asapnya pun terlihat. Cangkir bening memeluk erat hangat air di dalamnya.


Aku nakal. Seharusnya tulisan untuk majalah selesai sekarang juga. Tapi beberapa menit lalu sengajaku putar film berjudul, Gie. Pikirku, akan membangkitkan gairah menulis dan menyelesaikan majalah yang sudah jatuh tempo. Yang ada, aku malah terbuai.


Akting Nicholas Saputra menenggelamkan alam pikir ini untuk berkhayal. Bukan untuk menjadi Gie. Tapi kisahnya bersama Ira. Membuat dahi ku mengenyit. Folder bernama Poto pun kubuka. Wajahmu tepat di hadapanku. Bersamaan dengan film yang sedang memainkan adegan Ira ketika membaca surat Gie untuknya yang diperoleh dari  denny. Teman dekat gie yang dimainkan oleh Indra Birowo.


Aku heran. Mengapa orang macam Gie tidak sekalipun mengenal cinta. Meskipun Gie merasakannya. Sudahlah, itu kisah mereka.


Aku pikir kita serupa dengan Gie dan Ira. Tapi tidak. Aku tidak ingin menjadi Gie. Bukan pula dirimu harus seperti Ira. Melainkan, dalam hal ini kita sama. Sejurusan, sekelas, bahkan sehati.


Satu hal dari Gie. Ira sangat mendukung kegiatan yang dilakukan Gie. Diskusi, bedah film, bahkan demonstrasipun dilakoninya. Memang itu semua tidak terlepas dari karakter Ira sendiri. Harapku kau tidak usah menjadi Ira. Jadilah dirimu.


Gie sama dengan kita. Minatnya menenggelamkan diri ke dalam ruang dan batas waktu. Ya, sejarah namanya. Situasi pada masa itu mencekam. Gie dan Ira berada diposisi dilema. Mereka adalah kaum intelektual yang coba menjadi candra dimuka. Orang-orang yang ingin selalu netral.


Aku tahu, sejarah tidak mampu menarikmu untuk jauh berenang bersamanya. Tapi, jangan pernah sesekali berucap. Bahwa ini atas paksaan ibumu. Yang kalau dipikir dia adalah senior kita. Juga pernah menempuh studi di jurusan Pendidikan Sejarah. Sudahlah, kenapa lagi-lagi harus bicara Gie. Dan sudah bakar semua kata dan sikap yang bersifat memaksa. Aku benci dengan itu.


Terlintas, hubungan percintaan itu mengasyikan. Syahdu, merdu, petikannya pun mudah dirasakan. Memang, kita sedang berada di titik yang bernama kasmaran. Sekarang yang ada hanya rindu, rindu dan terus rindu. Aku lupa, satu lagi. Yaitu cemburu.


Kuseruput kopi hitam ini. Dan tembang berjudul rindu milik Iwan Fals temanku setelah Film Gie. Tetap terasa sunyi. Padahal volume sudah menunjuk jarum paling atas. Terbesit pertanyaan. Ada apa dengan ku malam ini ?


Sebentar lagi kaum muslim akan melaksanakan sahur. Besok pagi, ramadhan tepat menginjak hari keempatnya. Riuh ramadhan nampak disambut hangat oleh mereka. Tapi tidak dengan ku. Mungkin juga keluargaku.


Sekembalinya di rumah. Topik yang selalu dibahas adalah kesiapan keberangkatan adik ku untuk masuk ke asrama. Tidak jauh memang dari sini. Tepatnya di Cilincing. Dimana Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) itu berada.


Tidak biasa, setelah sholat magrip beberapa jam yang lalu. Ayah berdoa lama. Lama sekali. Air matanya pun menetes. Mungkin yang ditangis adalah adikku.


Telah habis puluhan juta. STIP telah memeras jatah hidup keluargaku untuk beberapa tahun ke depan. Tega. Tapi inilah wajah institusi pendidikan kita sedari zaman Hindia-Belanda.


Semuanya serba baru. Penggaris, pakaian, alat makan, dan alat mandi. Semua keperluan adikku dibelinya di tempat yang berbeda. Tapi tetap, ini tidak merubah raut wajah ayahku. Sembab, lecek dan tiga garis hitam terbentuk di sepasang kantung matanya.


Sesekali kami membicarakan dirimu. Pertanyaan yang terlontar dari ayah, siapa dirimu. Spontan ku jawab, “Dia satu jurusan denganku. Ibunya adalah guru SMA ku.”

“Belajarlah nak. Jodoh tidak kemana. Kalian hanya teman, jangan berlebihan. Aku tetap mendukungmu,” kata Ayah. Seraya menyetujui hubungan kita. Tapi prioritas tetap pada studi. Dan kita mungkin setelah itu. “ Jer basuki mowo beo,” tambahnya.


Aku kagum dengan Ira. Perangainya selalu ceria. Membuat Gie tak bisa lepas untuk selalu melantunkan penanya dengan harapan Ira terus membacanya. Harapku kau juga terus mau membaca tulisanku.
Tapi, dirimu tetaplah Mega. Mega puspita. Tetaplah menjadi Mega untuk diriku. Katamu aku penyemangat  hidupmu. Lantas, jadilah dirimu juga penyemangat hidupku. Kita harus selalu adil !
Sikap dewasamu selalu aku tunggu. Gairah belajarmu akan selalu aku pantau. Kita harus tetap saling mengawasi.


Cukup dengan semua tindakan tolol yang pernah kau perbuat. Sudah, kita harus lekas pergi. Gerbang lebar dengan istana yang indah ada di hadapan kita. Jangan berlari, cukup dengan berjalan kita kesana. Yang terpenting selama perjalanan, tangan kita tetap menyatu. Diiringi canda yang selalu menebarkan senyum kecilmu. Ingat, akan selalu aku ingat.


Rasanya cukup. Mulai sekarang jangan terus sesumbar. Berhentilah berjanji. Bertindaklah dan bersikaplah. Kemudian ku lanjutkan tulisan untuk majalah. Karna majalah dan dirimu satu kewajiban yang ada di hadapanku kini.

Jakarta, 4 Agustus 2011


Read more >>

Untuk Nurlaila

0 komentar

Pendidikan tinggi tidak menjamin menjadikan manusia berpendidikan

Wanita berumur 23 Tahun itu baru saja bangun dari mimpi, muka lebam dan garis ceplakan tikar yang menjadi alas tidurnya jelas terlihat. Rambutnya yang bergelombang terdapat kapas yang menempel.Tubuhnya yang tak mencapai lima puluh kilogram dengan mudah diangkat dari tempat tidurnya.

Langkahnya cepat saat menuju kamar mandi sembari menyalakan kompor subsidi dari pemerintah untuk memasak air. Satu cidukan air cukup untuk membuat wajahnya menjadi segar. Dia bergegas membangunkan anaknya, lalu dibopong menuju kamar mandi. Setelah basah dan tercium wangi, dia mengambil pakaian yang masih kaku dari lemari reotnya itu. Tas beserta isinya yang sudah dipersiapkan dari malam hari diambilnya, kemudian dengan cekatan memakaikan sepatu bercorak hitam yang kemarin dibelinya ke kaki mungil anaknya.

Teriakan tukang sayur mengusik telinga wanita  yang diketahui bernama, Nurlaila. Dibelinya sebungkus daging olahan untuk sarapan anaknya. Nurlaila yakin dengan asupan gizi yang baik akan membentuk pola pikir yang cerdas. Meskipun gizi yang baik itu hanya bisa dipenuhi sehari dalam sebulan mereka bersantap. 


Dikeluarkannya sepeda yang akan membawa mereka menuju sekolah dasar negeri yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Ayunan kaki pada sepeda Nurlaila menyiratkan harapan pada setiap dayuhan yang digerakannya. Harapan ditahun ajar baru agar anaknya menempuh pendidikan hingga sampai perguruan tinggi. Tidak seperti ibunya yang hanya lulus sekolah menengah pertama. Dan hanya bekerja sebagai pedagang sayur.

Satu lagi, dunia pendidikan memiliki wajah baru. Wajah baru dengan harapan lama terhadap pendidikan. Pendidikan masih dipercaya menjadi alat perubahan, tapi yang diilhami masyarakat dari zaman kolonial sampai hari ini, pendidikan hanya sebagai alat perubah status sosial.

Begitu pula dengan yang diyakini Nurlaila. Dia menganggap jika anaknya sampai bisa menikmati pendidikan tinggi akan menjamin kesejahteraan hidupnya. Meski harus dibayar dengan kerja keras untuk memperoleh itu semua. Oleh sebab itu, Nurlaila yakin dengan ini semua anaknya tidak akan merasakan kehidupan sepertinya. Seorang janda yang menikah di usia muda akibat hubungan bebas, lantas diceraikan suaminya dan kini dia hidup bersama orantua dan anaknya.

Sekolah tidak menjamin akan lunturnya moral dan prilaku manusia di dalamnya. Karna pendidikan moral hanya dilakukan secara tekstual dengan cara mencatat dan menghafal. Pendidikan moral yang seharusnya tidak terbatas pada pola pengajaran dapat ditekankan dengan mengetahui apa yang menyebabkan moral suatu masyarakat bertransformasi. Dengan melakukan pendekatan kausalitas sesuai dengan kompetensi masyarakat sekarang.
  

Kemiskinan dijadikan penyebab sulitnya tercipta tatanan masyarakat yang kondusif. Sedangkan malas dijadikan alasan seseorang menghakimi ketidakadilan yang sedang terjadi pada era konsumerisme ini. Oleh sebab itu, pendidikan tercipta bukan hanya untuk mencetak mesin dengan upah yang terspesialisasi pada jenjang pendidikan tertentu. Telah mengenyam pendidikan paling tinggi, dengan jumawa seseorang telah mapan dalam kehidupan dan menjadi penghisap bagi mereka yang masih berada dibawah kesejahteraan.

Interaksi sosial dibutuhkan dalam proses pendidikan. Pembentukan kesadaran akan tanggungjawabmanusia yang berpendidikan terhadap sesamanya merupakan tujuan hakiki darisebuah nilai moral. Pancasila sebagai paham Negara-bangsa Indonesia ini jangan hanya dijadikan alat politis. Melainkan sebuah pedoman hidup dalam bertindak di tanah yang yang telah mempertemukan imperialisme lama hingga baru.

Harapan Nurlaila tidaklah lebih. Nurlaila hanyalah korban pencitraan kegagalan dalam membangun tatanan pendidikan yang kritis. Pendidikan bagi nurlaila dan anaknya adalah pendidikan yang mengembalikan kemanusiannya.

Read more >>

Pengunjung

News From My Blog