Jakarta Mencekam

Minggu, 22 Juli 2012

Hari-hari yang kulewati begitu hening. Sunyi menggerogoti setiap sela-sela keadaan. Penuh penantian masa lalu.

Jakarta, memang tidak seperti dulu. Jakarta, sudah bukan tempat lahir yang kukenal sebelumnya. Jakarta, kini begitu ramah. Jakarta, sudah terlalu.

Tidak pernah ada orang bertegur sapa di dalam sebuah angkutan umum. Jangankan untuk berbagi gelisah dan suka. Saling menatap, adalah hal yang langka.

Keramaiannya bukan mencerminkan keakraban. Kemewahannya bukan hasil dari kerja keras. Kepadatannya adalah emosi dari rasa ketidaksabaran.

Begitulah. Tidak pernah ada lagi seorang nenek yang mengeluh kesepian. Tidak ada lagi anak kecil yang meringis karna belum makan. Jakarta telah merenggutnya. Mereka dimasukkan ke dalam penjara yang diberi nama penampungan.

Malam hari begitu berwarna. Barisan pekerja seks sudah bukan lagi diisi perempuan-perempuan ramah dan menggoda. Yang ada hanyalah sejumlah anak belia belajar nakal. Penikmatnya pun datang sekedar merengkuh kepuasan. Bukan kenikmatan atas rasa iba yang melakukannya.

Jakarta, dirimu sudah senja. Padahal puluhan juta penghunimu selalu berharap kau tetap muda. Guna menampung ombak keserakahan yang beranak pinak.

Teriakannya adalah suara-suara liar. Yang berasal dari mulut-mulut busung lapar. Bukan karena sedikit gizi yang diperoleh. Bukan pula karena hanya memiliki sepasang pakaian yang dikenakan untuk sepekan. Melainkan karena kebuasan. Sifat kebinatangan dari penghunimu. Jakarta, dirimu mencekam.

(Pinggir Danau Buatan, Jakarta Utara 01:45)

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung

News From My Blog