Menulis Hati

Jumat, 20 Juli 2012

Apa yang dirasa harus diceritakan

Malam yang hening. Berteman segelas kopi hitam yang baru diseduh. Asapnya pun terlihat. Cangkir bening memeluk erat hangat air di dalamnya.


Aku nakal. Seharusnya tulisan untuk majalah selesai sekarang juga. Tapi beberapa menit lalu sengajaku putar film berjudul, Gie. Pikirku, akan membangkitkan gairah menulis dan menyelesaikan majalah yang sudah jatuh tempo. Yang ada, aku malah terbuai.


Akting Nicholas Saputra menenggelamkan alam pikir ini untuk berkhayal. Bukan untuk menjadi Gie. Tapi kisahnya bersama Ira. Membuat dahi ku mengenyit. Folder bernama Poto pun kubuka. Wajahmu tepat di hadapanku. Bersamaan dengan film yang sedang memainkan adegan Ira ketika membaca surat Gie untuknya yang diperoleh dari  denny. Teman dekat gie yang dimainkan oleh Indra Birowo.


Aku heran. Mengapa orang macam Gie tidak sekalipun mengenal cinta. Meskipun Gie merasakannya. Sudahlah, itu kisah mereka.


Aku pikir kita serupa dengan Gie dan Ira. Tapi tidak. Aku tidak ingin menjadi Gie. Bukan pula dirimu harus seperti Ira. Melainkan, dalam hal ini kita sama. Sejurusan, sekelas, bahkan sehati.


Satu hal dari Gie. Ira sangat mendukung kegiatan yang dilakukan Gie. Diskusi, bedah film, bahkan demonstrasipun dilakoninya. Memang itu semua tidak terlepas dari karakter Ira sendiri. Harapku kau tidak usah menjadi Ira. Jadilah dirimu.


Gie sama dengan kita. Minatnya menenggelamkan diri ke dalam ruang dan batas waktu. Ya, sejarah namanya. Situasi pada masa itu mencekam. Gie dan Ira berada diposisi dilema. Mereka adalah kaum intelektual yang coba menjadi candra dimuka. Orang-orang yang ingin selalu netral.


Aku tahu, sejarah tidak mampu menarikmu untuk jauh berenang bersamanya. Tapi, jangan pernah sesekali berucap. Bahwa ini atas paksaan ibumu. Yang kalau dipikir dia adalah senior kita. Juga pernah menempuh studi di jurusan Pendidikan Sejarah. Sudahlah, kenapa lagi-lagi harus bicara Gie. Dan sudah bakar semua kata dan sikap yang bersifat memaksa. Aku benci dengan itu.


Terlintas, hubungan percintaan itu mengasyikan. Syahdu, merdu, petikannya pun mudah dirasakan. Memang, kita sedang berada di titik yang bernama kasmaran. Sekarang yang ada hanya rindu, rindu dan terus rindu. Aku lupa, satu lagi. Yaitu cemburu.


Kuseruput kopi hitam ini. Dan tembang berjudul rindu milik Iwan Fals temanku setelah Film Gie. Tetap terasa sunyi. Padahal volume sudah menunjuk jarum paling atas. Terbesit pertanyaan. Ada apa dengan ku malam ini ?


Sebentar lagi kaum muslim akan melaksanakan sahur. Besok pagi, ramadhan tepat menginjak hari keempatnya. Riuh ramadhan nampak disambut hangat oleh mereka. Tapi tidak dengan ku. Mungkin juga keluargaku.


Sekembalinya di rumah. Topik yang selalu dibahas adalah kesiapan keberangkatan adik ku untuk masuk ke asrama. Tidak jauh memang dari sini. Tepatnya di Cilincing. Dimana Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) itu berada.


Tidak biasa, setelah sholat magrip beberapa jam yang lalu. Ayah berdoa lama. Lama sekali. Air matanya pun menetes. Mungkin yang ditangis adalah adikku.


Telah habis puluhan juta. STIP telah memeras jatah hidup keluargaku untuk beberapa tahun ke depan. Tega. Tapi inilah wajah institusi pendidikan kita sedari zaman Hindia-Belanda.


Semuanya serba baru. Penggaris, pakaian, alat makan, dan alat mandi. Semua keperluan adikku dibelinya di tempat yang berbeda. Tapi tetap, ini tidak merubah raut wajah ayahku. Sembab, lecek dan tiga garis hitam terbentuk di sepasang kantung matanya.


Sesekali kami membicarakan dirimu. Pertanyaan yang terlontar dari ayah, siapa dirimu. Spontan ku jawab, “Dia satu jurusan denganku. Ibunya adalah guru SMA ku.”

“Belajarlah nak. Jodoh tidak kemana. Kalian hanya teman, jangan berlebihan. Aku tetap mendukungmu,” kata Ayah. Seraya menyetujui hubungan kita. Tapi prioritas tetap pada studi. Dan kita mungkin setelah itu. “ Jer basuki mowo beo,” tambahnya.


Aku kagum dengan Ira. Perangainya selalu ceria. Membuat Gie tak bisa lepas untuk selalu melantunkan penanya dengan harapan Ira terus membacanya. Harapku kau juga terus mau membaca tulisanku.
Tapi, dirimu tetaplah Mega. Mega puspita. Tetaplah menjadi Mega untuk diriku. Katamu aku penyemangat  hidupmu. Lantas, jadilah dirimu juga penyemangat hidupku. Kita harus selalu adil !
Sikap dewasamu selalu aku tunggu. Gairah belajarmu akan selalu aku pantau. Kita harus tetap saling mengawasi.


Cukup dengan semua tindakan tolol yang pernah kau perbuat. Sudah, kita harus lekas pergi. Gerbang lebar dengan istana yang indah ada di hadapan kita. Jangan berlari, cukup dengan berjalan kita kesana. Yang terpenting selama perjalanan, tangan kita tetap menyatu. Diiringi canda yang selalu menebarkan senyum kecilmu. Ingat, akan selalu aku ingat.


Rasanya cukup. Mulai sekarang jangan terus sesumbar. Berhentilah berjanji. Bertindaklah dan bersikaplah. Kemudian ku lanjutkan tulisan untuk majalah. Karna majalah dan dirimu satu kewajiban yang ada di hadapanku kini.

Jakarta, 4 Agustus 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung

News From My Blog