Untuk Nurlaila

Jumat, 20 Juli 2012

Pendidikan tinggi tidak menjamin menjadikan manusia berpendidikan

Wanita berumur 23 Tahun itu baru saja bangun dari mimpi, muka lebam dan garis ceplakan tikar yang menjadi alas tidurnya jelas terlihat. Rambutnya yang bergelombang terdapat kapas yang menempel.Tubuhnya yang tak mencapai lima puluh kilogram dengan mudah diangkat dari tempat tidurnya.

Langkahnya cepat saat menuju kamar mandi sembari menyalakan kompor subsidi dari pemerintah untuk memasak air. Satu cidukan air cukup untuk membuat wajahnya menjadi segar. Dia bergegas membangunkan anaknya, lalu dibopong menuju kamar mandi. Setelah basah dan tercium wangi, dia mengambil pakaian yang masih kaku dari lemari reotnya itu. Tas beserta isinya yang sudah dipersiapkan dari malam hari diambilnya, kemudian dengan cekatan memakaikan sepatu bercorak hitam yang kemarin dibelinya ke kaki mungil anaknya.

Teriakan tukang sayur mengusik telinga wanita  yang diketahui bernama, Nurlaila. Dibelinya sebungkus daging olahan untuk sarapan anaknya. Nurlaila yakin dengan asupan gizi yang baik akan membentuk pola pikir yang cerdas. Meskipun gizi yang baik itu hanya bisa dipenuhi sehari dalam sebulan mereka bersantap. 


Dikeluarkannya sepeda yang akan membawa mereka menuju sekolah dasar negeri yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Ayunan kaki pada sepeda Nurlaila menyiratkan harapan pada setiap dayuhan yang digerakannya. Harapan ditahun ajar baru agar anaknya menempuh pendidikan hingga sampai perguruan tinggi. Tidak seperti ibunya yang hanya lulus sekolah menengah pertama. Dan hanya bekerja sebagai pedagang sayur.

Satu lagi, dunia pendidikan memiliki wajah baru. Wajah baru dengan harapan lama terhadap pendidikan. Pendidikan masih dipercaya menjadi alat perubahan, tapi yang diilhami masyarakat dari zaman kolonial sampai hari ini, pendidikan hanya sebagai alat perubah status sosial.

Begitu pula dengan yang diyakini Nurlaila. Dia menganggap jika anaknya sampai bisa menikmati pendidikan tinggi akan menjamin kesejahteraan hidupnya. Meski harus dibayar dengan kerja keras untuk memperoleh itu semua. Oleh sebab itu, Nurlaila yakin dengan ini semua anaknya tidak akan merasakan kehidupan sepertinya. Seorang janda yang menikah di usia muda akibat hubungan bebas, lantas diceraikan suaminya dan kini dia hidup bersama orantua dan anaknya.

Sekolah tidak menjamin akan lunturnya moral dan prilaku manusia di dalamnya. Karna pendidikan moral hanya dilakukan secara tekstual dengan cara mencatat dan menghafal. Pendidikan moral yang seharusnya tidak terbatas pada pola pengajaran dapat ditekankan dengan mengetahui apa yang menyebabkan moral suatu masyarakat bertransformasi. Dengan melakukan pendekatan kausalitas sesuai dengan kompetensi masyarakat sekarang.
  

Kemiskinan dijadikan penyebab sulitnya tercipta tatanan masyarakat yang kondusif. Sedangkan malas dijadikan alasan seseorang menghakimi ketidakadilan yang sedang terjadi pada era konsumerisme ini. Oleh sebab itu, pendidikan tercipta bukan hanya untuk mencetak mesin dengan upah yang terspesialisasi pada jenjang pendidikan tertentu. Telah mengenyam pendidikan paling tinggi, dengan jumawa seseorang telah mapan dalam kehidupan dan menjadi penghisap bagi mereka yang masih berada dibawah kesejahteraan.

Interaksi sosial dibutuhkan dalam proses pendidikan. Pembentukan kesadaran akan tanggungjawabmanusia yang berpendidikan terhadap sesamanya merupakan tujuan hakiki darisebuah nilai moral. Pancasila sebagai paham Negara-bangsa Indonesia ini jangan hanya dijadikan alat politis. Melainkan sebuah pedoman hidup dalam bertindak di tanah yang yang telah mempertemukan imperialisme lama hingga baru.

Harapan Nurlaila tidaklah lebih. Nurlaila hanyalah korban pencitraan kegagalan dalam membangun tatanan pendidikan yang kritis. Pendidikan bagi nurlaila dan anaknya adalah pendidikan yang mengembalikan kemanusiannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung

News From My Blog