Pendidikan tinggi tidak menjamin menjadikan manusia berpendidikan
Wanita berumur 23 Tahun itu baru saja bangun dari mimpi, muka lebam
dan garis ceplakan tikar yang menjadi alas tidurnya jelas terlihat. Rambutnya yang bergelombang terdapat kapas yang menempel.Tubuhnya yang
tak mencapai lima puluh kilogram dengan mudah diangkat dari tempat
tidurnya.
Langkahnya cepat saat menuju kamar mandi sembari menyalakan kompor
subsidi dari pemerintah untuk memasak air. Satu cidukan air cukup untuk
membuat wajahnya menjadi segar. Dia bergegas membangunkan anaknya, lalu
dibopong menuju kamar mandi. Setelah basah dan tercium wangi, dia
mengambil pakaian yang masih kaku dari lemari reotnya itu. Tas beserta
isinya yang sudah dipersiapkan dari malam hari diambilnya, kemudian
dengan cekatan memakaikan sepatu bercorak hitam yang kemarin dibelinya
ke kaki mungil anaknya.
Teriakan tukang sayur mengusik telinga wanita yang diketahui bernama, Nurlaila. Dibelinya sebungkus daging olahan untuk sarapan anaknya. Nurlaila
yakin dengan asupan gizi yang baik akan membentuk pola pikir yang cerdas. Meskipun gizi yang baik itu hanya bisa dipenuhi sehari
dalam sebulan mereka bersantap.
Dikeluarkannya sepeda yang akan membawa mereka menuju sekolah dasar negeri yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Ayunan kaki pada sepeda Nurlaila menyiratkan harapan pada setiap dayuhan yang digerakannya. Harapan ditahun ajar baru agar anaknya menempuh pendidikan hingga sampai perguruan tinggi. Tidak seperti ibunya yang hanya lulus sekolah menengah pertama. Dan hanya bekerja sebagai pedagang sayur.
Dikeluarkannya sepeda yang akan membawa mereka menuju sekolah dasar negeri yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Ayunan kaki pada sepeda Nurlaila menyiratkan harapan pada setiap dayuhan yang digerakannya. Harapan ditahun ajar baru agar anaknya menempuh pendidikan hingga sampai perguruan tinggi. Tidak seperti ibunya yang hanya lulus sekolah menengah pertama. Dan hanya bekerja sebagai pedagang sayur.
Satu lagi, dunia pendidikan memiliki wajah baru. Wajah baru dengan
harapan lama terhadap pendidikan. Pendidikan masih dipercaya menjadi
alat perubahan, tapi yang diilhami masyarakat dari zaman kolonial sampai hari ini, pendidikan hanya sebagai alat perubah status sosial.
Begitu pula dengan yang diyakini Nurlaila. Dia menganggap jika anaknya sampai bisa
menikmati pendidikan tinggi akan menjamin kesejahteraan hidupnya.
Meski harus dibayar dengan kerja keras untuk memperoleh itu semua. Oleh
sebab itu, Nurlaila yakin dengan ini semua anaknya tidak akan merasakan
kehidupan sepertinya. Seorang janda yang menikah di usia muda akibat
hubungan bebas, lantas diceraikan suaminya dan kini dia hidup bersama
orantua dan anaknya.
Sekolah tidak menjamin akan lunturnya moral dan prilaku manusia
di dalamnya. Karna pendidikan moral hanya dilakukan secara tekstual
dengan cara mencatat dan menghafal. Pendidikan moral yang seharusnya
tidak terbatas pada pola pengajaran dapat ditekankan dengan mengetahui
apa yang menyebabkan moral suatu masyarakat bertransformasi. Dengan
melakukan pendekatan kausalitas sesuai dengan kompetensi masyarakat
sekarang.
Kemiskinan dijadikan penyebab sulitnya tercipta tatanan masyarakat
yang kondusif. Sedangkan malas dijadikan alasan seseorang menghakimi
ketidakadilan yang sedang terjadi pada era konsumerisme ini. Oleh sebab itu,
pendidikan tercipta bukan hanya untuk mencetak mesin dengan upah yang
terspesialisasi pada jenjang pendidikan tertentu. Telah mengenyam
pendidikan paling tinggi, dengan jumawa seseorang telah mapan dalam
kehidupan dan menjadi penghisap bagi mereka yang masih berada dibawah
kesejahteraan.
Interaksi sosial dibutuhkan dalam proses pendidikan. Pembentukan
kesadaran akan tanggungjawabmanusia yang berpendidikan terhadap
sesamanya merupakan tujuan hakiki darisebuah nilai moral. Pancasila
sebagai paham Negara-bangsa Indonesia ini jangan hanya dijadikan alat
politis. Melainkan sebuah pedoman hidup dalam bertindak di tanah yang
yang telah mempertemukan imperialisme lama hingga baru.
Harapan Nurlaila tidaklah lebih. Nurlaila hanyalah korban pencitraan
kegagalan dalam membangun tatanan pendidikan yang kritis. Pendidikan
bagi nurlaila dan anaknya adalah pendidikan yang mengembalikan
kemanusiannya.
0 komentar:
Posting Komentar